Visi Indonesia 2045 Bergantung pada Tenaga Terampil - Berbagai pemangku kepentingan telah sepakat bahwa kolaborasi untuk menyediakan pelatihan kejuruan yang andal.
Visi Indonesia 2045 Bergantung pada Tenaga Terampil.
Untuk menghasilkan tenaga kerja terampil sangat dibutuhkan jika Indonesia ingin mencapai tujuannya menjadi negara maju dengan pendapatan tahunan sebesar Rp 320 juta (US$21.813) per kapita pada tahun 2045. Karena tingkat pengangguran lulusan sekolah menengah kejuruan paling memprihatinkan, yaitu 8,63 persen menurut Badan Pusat Statistik tahun lalu, sosiolog dari Universitas Gadjah Mada Tadjuddin Noer Effendi mengutip sistem pendidikan dan pelatihan kejuruan ganda (DVET) Jerman sebagai contoh utama yang harus dilakukan Indonesia. mengikuti. “Kami memiliki banyak pusat pelatihan tetapi berapa banyak dari mereka yang berkualitas baik? Sektor swasta harus bekerja sama dengan pemerintah, universitas dan sekolah, menempatkan siswa ke dalam pelatihan di perusahaan di bawah pengawasan mentor berpengalaman, ”kata Tadjuddin kepada The Jakarta Post pada hari Kamis selama seri webinar Post Jakpost Upclose: “Human Capital Development and Indonesia's 2045 penglihatan. Tadjuddin juga menekankan pentingnya reformasi sistematis dalam pelatihan kejuruan sehingga orang-orang dengan tingkat pendidikan rendah atau mereka yang bekerja di sektor informal juga dapat mengembangkan keterampilan. Ketidakmampuan untuk mengidentifikasi kebutuhan pelatihan dengan baik dan kurangnya informasi tentang manfaat pelatihan, katanya, menjadi salah satu kendala pengembangan keterampilan di antara orang-orang dengan tingkat pendidikan rendah Wakil Ketua Kamar Dagang dan Industri Indonesia (Kadin) Anton J. Melampaui akses: Membuat sistem pendidikan Indonesia berhasil Supit mengatakan, masih ada keengganan atau sedikitnya kesadaran para pelaku usaha di tanah air untuk mengikuti program vokasi. “Tidak banyak orang yang menganggap betapa pentingnya sumber daya manusia. Mereka selalu berpikir bahwa melatih orang itu mahal. Padahal, DVET akan meningkatkan produktivitas dan daya saing,” kata Anton seraya menambahkan bahwa Jerman bahkan memasukkan DVET sebagai bagian dari strategi ekonominya. Apalagi, di banyak daerah di Indonesia di luar ibu kota Jakarta, kata Anton, masyarakat masih belum menyadari daya saing internasional tenaga kerja Indonesia masih kurang. “Oleh karena itu, upaya dan pembahasan lebih lanjut di tingkat pemerintah daerah juga diperlukan,” katanya. Terlepas dari kurangnya daya saing saat ini, Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko mengatakan kepada Post dalam sebuah wawancara yang disiarkan pada hari Kamis bahwa dia yakin bonus demografi Indonesia dapat menjadi kekuatan jika dikelola dengan baik. “Indonesia harus menjadi kekuatan baru di Asia. Untuk menuju ke sana, pemerintah akan membuat desain untuk mengelola talenta bangsa. Orang-orang ini adalah penggerak utama Indonesia,” katanya. Sementara itu, pemerintah kini berupaya meningkatkan produktivitas penduduk usia kerja. Turut berbicara dalam webinar, Direktur Eksekutif Program Kartu Prakerja Denni Puspa Purbasari mengatakan program pemerintah sejauh ini telah melibatkan 14,9 juta peserta, dengan mayoritas peserta melaporkan peningkatan keterampilan. “Sembilan puluh tiga persen peserta mengatakan pelatihan mengajarkan mereka cara atau strategi baru untuk bekerja, serta kewirausahaan,” katanya, seraya menambahkan bahwa program tersebut telah tepat sasaran karena 90 persen peserta menganggur dan 85 persen berasal dari usia 18- 35 kelompok umur. Lebih lanjut ia menegaskan pentingnya memikirkan kartu prakerja sebagai produk bukan program. “Kita cenderung menganggap program sebagai kegiatan pemerintah dalam membelanjakan anggarannya. Tapi lebih dari itu. Dengan kartu prakerja, konsumen dapat menilai sesi pelatihan dan saya percaya peningkatan berkelanjutan [dalam kualitas pelatihan] akan terjadi,” ujarnya. Selain pelatihan untuk kelompok usia kerja, kesehatan anak merupakan aspek penting lainnya dalam meningkatkan sumber daya manusia, menurut Connie Ang, CEO Danone Specialized Nutrition Indonesia.
Stunting adalah salah satu masalah gizi utama di Indonesia, dengan kira-kira satu dari tiga anak di bawah 5 tahun mengalami stunting, baik karena tidak mendapatkan cukup makanan atau terlalu banyak makan makanan yang salah. Connie mengatakan nutrisi berdampak signifikan pada kesehatan dan perkembangan anak, baik fisik maupun mental, serta kecerdasan secara umum. “Sangat penting untuk memperhatikan tidak hanya kuantitas tetapi juga kualitas makanan, apalagi di masa pandemi ini karena krisis ekonomi banyak keluarga yang mulai berkompromi dengan gizi,” ujarnya. Pemerintah memang telah memprioritaskan pentingnya asupan gizi dalam menurunkan angka stunting, kata Moeldoko. Prevalensi stunting di Indonesia menurun, meski tetap tinggi, dari 30,8 persen pada laporan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018 menjadi 27,67 persen pada 2019.